14 Desember 2007

Survei Strategi Bisnis Konstruksi di Indonesia (31 Desember 2007)

Sekaitan dengan survei penelitian saya terdahulu tentang strategi perusahaan konstruksi (AEC) di Indonesia, saya masih mengundang bapak/ibu untuk meluangkan waktunya dalam mengisi survey online pada alamat situs berikut

http://FreeOnlineSurveys.com/rendersurvey.asp?sid=li37mkq2surpuyt326397 (Bahasa Indonesia)
http://FreeOnlineSurveys.com/rendersurvey.asp?sid=re341rvlfcw8flk317462 (English)

Survei ini akan terbuka hingga 31 Desember 2007.

Sebagai penghargaan atas partisipasi bapak/ibu, saya akan mengirimkan souvenir dari Brisbane bersama ringkasan hasil survey pada akhir January 2008.

Atas partisipasi dan dukungan bapak/ibu, saya mengucapkan terima kasih.

Best Regards,
Sapri Pamulu
Jakarta Contact:
Telp./Fax (021) 7817233/7817235
Cellular 081337888977
Email mspamulu@yahoo.com.au

12 Juli 2007

Kontraktor Indonesia Terganjal Modal

Kontraktor Indonesia yang ingin mengikuti proyek di luar negeri masih terganjal permasalahan modal.

Padahal, menurut Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia Agus Kartasasmita, kemampuan kontraktor Indonesia tak kalah dibanding kontraktor asing. "Yang menjadi masalah bukan kemampuan, tapi daya dukungnya, yaitu permodalan," ujar Agus kepada wartawan di Hotel Grand Kemang, Jakarta (13/3).

Menurut dia, untuk dapat mengikuti proyek di luar negeri yang bernilai ratusan miliar hingga triliunan rupiah itu, kontraktor harus mendapatkan dukungan dari pemerintah.

Pemerintah seharusnya dapat memberikan dukungannya dalam penetapan suku bunga pinjaman. "Di luar negeri hanya 3-4 persen, di Indonesia sampai 18 persen hingga 21 persen," kata Agus. Bila dikonversi ke dolar Amerika Serikat, besaran bunga menjadi 8 persen sampai 9 persen.

Dia melanjutkan, hal itu yang menyebabkan kontraktor Indonesia kerap kalah dengan kontraktor asing untuk proyek luar negeri. "Tender dibuka, kita sudah kalah," ujarnya. Pemilik proyek, lanjut Agus, menganggap penawaran kontraktor Indonesia tak kompetitif. "Padahal, itu di luar kemampuan kontraktor," kata dia.

Selain itu, ia juga mengeluhkan jaminan pelaksanaan dari perbankan Indonesia yang tidak diterima di beberapa negara. "Di Timor Timur saja, mereka minta jaminan dari bank Eropa kelas satu untuk tender internasional," ujarnya. Sedangkan dari pihak kontraktor Indonesia mengajukan jaminan dari Bank Mandiri yang notabene bank terbesar. "Permasalahan ini harus dipecahkan oleh pemerintah."

Sebagai contoh, Agus mengambil kebijakan pemerintah Korea Selatan yang memberikan fasilitas kepada para kontraktor yang akan mengikuti proyek di luar negeri. "Suku bunga pinjaman disesuaikan dengan suku bunga kontraktor lawan," katanya.
(Rieka Rahadiana, Tempo Interaktif, 13 Maret 2007)

10 Juli 2007

Survei Manajemen Perusahaan Konstruksi Indonesia

Kami mengundang bapak/ibu untuk berpartisipasi dalam survey online tentang praktek manajemen strategis pada perusahaan-perusahaan konstruksi di Indonesia, baik perusahaan jasa pelaksana (kontraktor) maupun perencana/pengawas (konsultan) dalam sektor AEC/EPC (architecture, engineering, procurement, & construction).
Survey ini berbasis web atau online, dan semua jawaban yang masuk akan dijamin kerahasiaannya, dan identitas pribadi/perusahaan tidak akan terungkap dalam laporan penelitian. Survey tersebut dapat di akses pada alamat situs sebagai berikut:

http://www.geocities.com/msapripamulu/survey.html
(bilingual/dwibahasa)

Terima kasih atas partisipasi dan dukungan bapak/ibu terhadap penelitian ini. (Sapri Pamulu, 1 July 2007)

Construction sector gearing up for economic recovery

Following Indonesia's slow recovery from the financial crisis, growth in the country's construction sector has been lagging. Will things stay this way going forward?
Ten years after the financial crisis, construction activity has not fully recovered. The contribution of construction to GDP has been gradually increasing over the past five years, although it has not reached pre-crisis levels yet. Construction as a share of GDP only amounted to 7.5 percent in 2006, still below the pre-crisis level of 8 percent.
This situation has forced the country's infrastructure sector to re-enter a phase of major growth in the construction of public, as well as private, infrastructure, which will eventually boost and support future demand for construction services.
Going forward, the domestic construction industry looks set to experience robust growth in line with economic expansion.
Development of public and private infrastructure is needed to attract the foreign and private investments that are necessary for supporting GDP growth.
In the 2002-2006 period, the construction industry grew on average by 7.1 percent, while GDP grew concurrently by 5.1 percent. As Indonesian growth is expected to rise towards the six percent level this year (versus 5.5 percent in 2006), construction growth is expected to surge.
As for this year, investment is expected to soar as the macroeconomy stabilizes.
So, what are the factors that help to boost demand for construction services?
Indonesia's benchmark interest rate may further decline toward 8.5 percent by the end of the year from the current level of 9 percent. Oil prices have risen, but on average are lower than last year (US$60/barrel versus US$66/barrel).
These conditions, along with the absence of major administered price adjustments, should encourage both private and public sector construction projects.
Moreover, the government has been striving to improve the statutory framework so as to make the infrastructure projects offered to investors more attractive and bankable. Under Presidential Decree No. 65 of 2006, the government will encourage accelerated infrastructure development in Indonesia through investment cooperation, revolving funds, subsidies (public service obligation), guarantees and tax waivers.
The various new regulations that have been introduced should serve to attract potential local and foreign infrastructure investment inflows, thus benefiting suppliers of construction and civil engineering services.
According to the government, Indonesia's infrastructure needs to expand by over US$150 billion between 2005 and 2010. However, only 17 percent of this can be financed from the government's own resources.
Hence the government is actively encouraging the participation of both local and foreign investors in developing the country's infrastructure.
As for this year, the central government has allocated nearly 20 percent of this year's overall budget spending to public infrastructure development, consisting of both multi-year and single-year projects.
Although delays cannot be ruled out, most of the construction work is expected to start in April and be completed by mid-December (single-year projects). The terms of the tenders will favor those companies requiring the least government support, but which possess the highest levels of expertise and experience.
In addition, 19 infrastructure projects costing Rp 63 trillion (US$6.8 billion) will also be put out to tender in 2007, including thirteen toll roads (worth Rp 43 trillion) and three water supply projects (worth Rp 950 billion), as well as a ferry port, an international airport and the national fiber-optic cable network.
But in spite of all the good news and support from the government, progress in terms of actual construction remains fairly limited, especially in the case of public infrastructure projects.
This is shown by the fact that fewer than ten projects offered at the January 2005 Infrastructure Summit have entered the construction phase, while the majority of the remaining projects are still stuck at the tender and prequalification stages.
None of the projects offered in the 2006 Indonesian Infrastructure Summit (Infrastructure Summit II) have been realized. In fact, the tender processes for these projects have not even been completed.
Among the factors that have made these projects less attractive are regulatory restrictions, high commercial-risk levels, difficulties with land acquisition and the surge in inflation that followed on from the slashing of fuel-subsidy spending (which resulted in the prices submitted during the tenders being rendered outdated).
Therefore, the demand for construction services in Indonesia will depend on the investment climate (though not necessarily FDI), as well as the supporting government regulations.
If one is convinced that substantial improvements are forthcoming, then the outlook for the construction services industry, as well as for other sectors directly related to it, such as cement, heavy equipment and property, should also be robust. Therefore, investment in construction-related stocks would currently seem to be a notion worth considering (The Jakarta Post, 2 May 2007)

Investor Asing Akan Lebih Banyak Masuk Indonesia

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, pemerintah berharap pada tahun 2006 akan ada investor asing yang lebih banyak masuk ke Indonesia untuk membangun infrastruktur di dalam negeri. Kondisi itu dimungkinkan karena pemerintah akan menjelaskan berbagai langkah yang telah diambil dalam satu tahun terakhir untuk memudahkan investor asing di Indonesia.

Nanti dalam Indonesia Infrastructure Summit kedua pada Februari 2006, kami akan jelaskan mengenai Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang pembebasan tanah, keberadaan badan pengatur yang belum ada pada Summit Pertama, serta perubahan dalam peraturan investasi yang diubah untuk memudahkan investasi asing, kata Djoko yang ditemui di Konferensi Asia Construct Ke-11 di Jimbaran, Bali, Sabtu (17/9).

Sementara itu, dalam Laporan Tahunan tentang Konstruksi di Indonesia, Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Sulistiyo Sidarto Mulyo menyebutkan, dari total nilai proyek konstruksi di Indonesia yang dilakukan selama periode waktu tahun 1997 dan 2001 sebesar Rp 274,34 triliun, 29 persen di antaranya dilakukan oleh kontraktor asing.

Sementara untuk periode tahun 2005-2011, rata-rata proyek yang dapat dilakukan per tahunnya oleh para kontraktor asing di Indonesia sekitar Rp 45,72 triliun.

Joint venture (usaha patungan) merupakan format utama yang paling banyak digunakan para kontraktor asing dalam investasi langsung ke Indonesia selama ini, kata Sulistiyo. (Bisnis Indonesia, 19 September 2005)

Dilema Adhi Karya

Manajemen PT Adhi Karya Tbk ingin mencetak lebih banyak keuntungan. Untuk itu diperlukan ekspansi usaha. Ini memerlukan tambahan modal kerja sekitar Rp 1,6 triliun. Untuk memenuhi kebutuhan dana itu, manajemen BUMN konstruksi yang sudah masuk bursa itu akan menempuh dua cara. Petama, menerbitkan saham baru (right issue) untuk menarik dana Rp 600 miliar. Selebihnya, Rp 1 triliun, akan diusahakan dari utang, bisa dari pinjaman bank maupun obligasi.Upaya manajemen Adhi Karya tampaknya tidak akan berjalan mulus. Usulan itu ditolak oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Negara BUMN. Pemerintah tidak ingin kepemilikannya di Adhi Karya berkurang (terdilusi) dan tidak ingin pula menyetor tambahan modal (membeli saham baru).Minggu lalu, kepada sejumlah media Sekretaris Kementerian Negara BUMN, Said Didu mengemukakan, Adhi Karya boleh menerbitkan saham baru (right issue) jika persentase kepemilikan Pemerintah di Adhi Karya tetap atau tidak terdilusi. Dia malah menganjurkan agar Adhi Karya mengakuisisi BUMN karya yang lain. Katanya, akuisisi ini akan menaikkan porsi kememilikan Pemerintah di Adhi Karya.Kita tidak tahu apakah Sekretaris Menneg BUMN mengerti seluk-beluk pengelolaan perusahaan atau tidak. Yang pasti, jika Adhi Karya mengakusisi perusahaan lain, maka hal tersebut tidak akan menaikkan persentase kepemilikan pemerintah - dalam hal ini Kementerian BUMN -- di Adhi Karya. Lain halnya jika dilakukan merger (penggabungan usaha) antara Adhi Karya dengan BUMN karya yang lain.Sekarang ini, 51% saham Adhi Karya dimiliki oleh Pemerintah. Jika Adhi Karya hendak mencari tambahan modal sebesar Rp 600 miliar, berarti harus menerbitkan sekitar 1 miliar saham baru (itu dengan asumsi saham baru tersebut dijual Rp 600 per saham). Untuk mempertahankan kepemilikannya, Pemerintah harus menyetor Rp 306 miliar. Tampaknya, bagi pemerintah, jumlah di atas sangat besar. Untuk tahun buku 2005, Kementerian Negara BUMN hanya menerima deviden Rp 11,942 miliar dari Adhi Karya.Akan tetapi menempatkan Adhi Karya dalam posisi dilematis ketika hendak bertumbuh juga bukan kebijakan yang tepat. Sudah saatnya Pemerintah merelakan kepemilikannya berkurang di Adhi Karya jika memang tidak sanggup lagi menyetor tambahan modal. Pemilikan pemerintah akan menyusut menjadi sekitar 20% jika dilakukan right issue dan pemerintah memutuskan tidak menggunakan haknya. Akan tetapi aset Adhi Karya bakal meningkat menjadi sekitar Rp 3,5 triliun dengan modal setor sekitar Rp 1 triliun. Kan lebih bagus memiliki 20% dari Rp 1 triliun ketimbang 51% dari Rp 370,85 miliar? (Baso Amir, 18 September 2006)

Adhi Karya Akan Akuisisi Bina Karya

Perusahaan negara bidang konstruksi, PT Adhi Karya Tbk., dipastikan akan mengakuisisi PT Bina Karya dalam tahun ini.Langkah ini sejalan dengan keputusan pemerintah menggabungkan perusahaan milik negara di bidang jasa konstruksi dengan perusahaan di bidang konsultan jasa konstruksi.Menurut Sekretaris Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara M. Said Didu, keputusan ini sudah diambil dalam rapat Komite Privatisasi yang berlangsung beberapa waktu lalu. "Pemerintah sudah mengambil keputusan soal ini," kata Said kepada wartawan di Jakarta, Kamis (8/3). Di samping Adhi Karya, empat perusahaan negara sektor konstruksi akan melakukan langkah yang sama. PT Hutama Karya akan mengakuisisi PT Virama Karya, PT Waskita Karya mengakuisisi PT Indra Karya, PT Nindya Karya mengakuisisi PT Indah Karya, dan PT Perusahaan Pembangunan akan mengakuisisi dua perusahaan konsultan, yaitu PT Istaka Karya dan PT Brantas Abipraya.Rencana akuisisi ini menjadi agenda penting yang akan dilakukan Adhi Karya. Sebelumnya, perusahaan ini juga sedang merencanakan melakukan penambahan modal dengan cara menerbitkan saham baru (rights issue) senilai Rp 600 miliar.Dari dana hasil rights issue ini, Adhi Karya juga berkeinginan membeli saham PT Jasa Marga (Persero) senilai Rp 306 miliar. Transaksi ini dilakukan pada saat Jasa Marga melakukan penawaran umum saham perdana (IPO).Direktur Utama Adhi Karya Saiful Imam pertengahan Februari lalu membenarkan soal rencana tersebut. Usul itu, menurut dia, sudah disampaikan ke Kementerian BUMN. "Namun, persetujuannya belum diberikan," ujar Saiful.Menteri Negara BUMN Sugiharto mengaku tengah mengkaji usul tersebut. "Belum diputuskan. Masih terus dikaji," ujarnya (Koran Tempo, 14 Februari).Saiful menjelaskan usul agar perseroan diperkenankan melakukan penyertaan saham (inbreng) di Jasa Marga diajukan guna menghindari terjadi dilusi (penurunan) saham pemerintah di Adhi Karya. "Proses inbreng dapat bersamaan dengan IPO Jasa Marga," katanya.Adhi Karya berencana menggunakan dana hasil rights issue untuk kebutuhan belanja modal 2007, yang mencapai Rp 1,2 triliun. Selain diperoleh dari rights issue, dalam pemenuhan dana itu, perseroan akan menerbitkan obligasi senilai Rp 400 miliar.Tahun ini manajemen Adhi Karya mentargetkan pendapatan Rp 6 triliun, tumbuh 45 persen dari tahun sebelumnya, Rp 4,1 triliun. Laba bersih ditargetkan mencapai Rp 150 miliar. (Jum'at, 09 Maret 2007 - TEMPO Interaktif)

11 Perusahaan Kontraktor Masuk Daftar Hitam DPU

Inspektorat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum Wibisono Setiowibowo menyatakan, 11 perusahaan rekanan dan kontraktor di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum direkomendasikan masuk dalam daftar negatif. Karena melakukan berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan proyek. "Ada indikasi kolusi ataupun praktek melaksanakan tugas secara tidak benar, sehingga menimbulkan pemborosan dan kerugian negara,"kata Wibisono.Perusahaan-perusahaan yang masuk daftar negatif itu antara lain PT Cinatama Nusa Widya, PT Blanticindo Oneka, PT Esti Yasanagama, PT Mitra Lingkungan Duta, PT Konsindotama Persama Lokal, PT Sinar Ciomas Putra, dan Tokyo Const.Co. Dalam daftar negatif itu juga masuk empat kontraktor Badan Usaha Milik Negara yakni PT Pembangunan Perumahan, PT Hutama Karya, PT Nindya Karya, dan PT Waskita Karya.Akibat pelanggaran itu, tahun ini negara dirugikan Rp 61 miliar. "Dari sisi jumlah, sebenarnya temuan ini menurun. Tahun lalu, negara rugi Rp 90 miliar karena praktek pemborosan dan penyimpangan proyek pemerintah," kata Wibisono. Menurut Wibisono, hasil pemeriksaan Irjen bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) itu kemudian disampaikan kepada para direktur jenderal di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Sebagai pengguna jasa, para dirjen itulah yang berwenang memasukkan perusahaan-perusahaan itu ke dalam daftar hitamnya. "Kami sedang menunggu keputusan para dirjen itu. Kalau mereka sepakat dengan temuan kami, maka otomatis perusahaan-perusahaan itu masuk daftar hitam,"katanya. (Senin, 26 Desember 2005 - TEMPO Interaktif)

5 BUMN konsultan akan dijual

Kementerian BUMN sedang mengkaji opsi divestasi lima BUMN konsultan atau menjualnya kepada perusahaan milik negara yang lebih besar.
Data yang diperoleh Bisnis menyebutkan lima BUMN konsultan itu meliputi PT Indah Karya, PT Virama Karya, PT PT Yodya Karya, PT Indra Karya dan PT Bina Karya.
Saat ini, pemerintah melalui Kementerian BUMN memiliki 100% saham di lima BUMN konsultan itu. Pertimbangan diprivatisasi adalah sektornya yang kompetitif dan kapitalisasi perusahaan yang kecil.
Selain itu, privatisasi terhadap lima BUMN konsultan ini bisa dilakukan sampai dengan 100% saham.
Tim Kebijakan Privatisasi juga telah memberikan persetujuan terhadap rencana divestasi melalui surat persetujuan No: KEP-05/TKP/01/2004 tanggal 19 Januari 2004.
Menneg BUMN Sugiharto mengatakan kepastian BUMN yang akan diprivatisasi masih menunggu persetujuan dari Komite Privatisasi.
"Setidaknya ada 11 BUMN dengan kepemilikan mayoritas dan tujuh dengan kepemilikan minoritas yang diajukan dalam pembahasan divestasi oleh Komite Privatisasi. Selain itu, terdapat tambahan berupa Garuda Indonesia yang masuk dalam daftar privatisasi pada tahun ini," ujarnya pekan lalu.
Dia menjelaskan setelah Komite Privatisasi menyetujui nama BUMN yang didivestasi, termasuk dengan metode pelepasan saham, maka hasilnya akan diajukan ke DPR.
"Kami juga berupaya mengurangi jumlah BUMN dari sekitar 139 entitas menjadi sekitar 85 perusahaan pada 2009. Metodenya bisa bermacam-macam, baik melalui divestasi, merger, pembentukan perusahaan induk maupun pembentukan perusahaan patungan."
Sekretaris Perusahaan PT Adhi Karya Tbk Kurnadi Gularso ketika dikonfirmasi mengenai rencana pengambilalihan BUMN konsultan mengatakan kebijakan itu merupakan wewenang dari pemegang saham.
Dia mengakui terdapat opsi rencana akuisisi BUMN konstruksi kecil dengan pola imbreng (memperhitungkan saham pemerintah di BUMN konstruksi sebagai setoran modal) sehingga kepemilikan pemerintah meningkat di Adhi Karya. Selanjutnya, setelah porsi saham pemerintah naik, maka Adhi Karya bisa menggelar rights issue.
"Bisa saja ada BUMN konsultan diakuisisi oleh Adhi Karya tetapi sampai saat ini hal itu belum dipastikan." (Bisnis Indonesia, 8 Januari 2007)

Perusahaan Negara Konstruksi dan Konsultan Bakal Dimerger

Pemerintah telah memutuskan untuk menggabungkan perusahaan milik negara di bidang jasa konstruksi dengan perusahaan di bidang konsultan jasa konstruksi. Sekretaris Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Said Didu mengatakan, keputusan ini sudah diambil dalam rapat komite privatisasi. "Betul, pemerintah sudah mengambil keputusan soal ini," kata Said kepada pers di Gedung DPR/MPR usai rapat dengan panitia kerja Privatisasi DPR di Jakarta hari ini.Direktur Utama PT Wijaya Karya A. Sutjipto membenarkan soal keputusan tersebut. Menurut dia, keputusan itu diambil setelah melalui pembahasan mendalam di Kementerian BUMN. Pembahasan ini melibatkan masing-masing manajemen BUMN. "PT Wijaya Karya akan mengakuisisi PT Yodya Karya," kata dia. Sutjipto mengatakan, perusahaan jasa konstruksi milik negara lainnya juga diputuskan akan melakukan akuisisi yang sama. PT Adhi Karya akan mengakuisisi PT Bina Karya, PT Hutama Karya mengakuisisi PT Virama Karya, PT Waskita Karya mengakuisisi PT Indra Karya, dan PT Nindya Karya mengakuisisi PT Indah Karya, dan PT Perusahaan Pembangunan akan mengakuisisi dua perusahaan konsultan, yaitu PT Istaka Karya dan PT Brantas Abipraya. (Kamis, 08 Maret 2007 - TEMPO Interaktif)